Dia adalah seorang “pemuda
perlente” yang menjadi pujaan kaum wanita di Makkah. Pemuda yang selalu
hidup dengan semerbak Parfum, yang harumnya sering mendahului kedatangannya.
Kepandaiannya berkomunikasi dan memecahkan masalah, menjadikan dia selalu
ditunggu dikalangan pemuda Makkah saat itu, seakan akan pertemuan apapun tidak
lengkap tanpa kehadiran pemuda perlente tersebut.
Dialah Mush’aib Bin
Umair, pemuda terkemuka dikalangannya dan hidup bergelimang dengan kemewahan
dan asuhan manja ibunya. Jadilah dia sebagai anak yang sangat mencintai ibunya
diatas segalanya.
Dakwah Islam sampai ke
telinganya, menembus memanah hingga ke akal budinya, diam diam akalnya
menyetujui dakwah Islam. Menggetarkan jiwanya hingga, bergemuruh sambil
membenarkan ajakan Islam yang langsung dibawakan oleh Rasulullah SAW. Mulutnya
akhirnya bergerak sambil keluar suara haru KALIMAT SYAHADAT, tanda ia masuk
Islam.
Revolusi total terjadi dalam diri Mush’aib, hingga terpilih menjadi Assabiqunal Awwalun / kader inti perjuangan (PIONER) gerakan Risalah.
Revolusi total terjadi dalam diri Mush’aib, hingga terpilih menjadi Assabiqunal Awwalun / kader inti perjuangan (PIONER) gerakan Risalah.
Ada
sesuatu yang unik dalam dirinya. Dia adalah Pemuda pemberani, siap menghadapi
musuh islam manapun, bahkan jika harus menghadapi para pendekar-pendekar Negara
Hijaz seluruhnya. Tetapi jika harus berhadapan dengan ibunya, ia lumpuh tak
berdaya, takut karena hormat dan sayang kepada Ibunya. Ketakutan kepada Ibunya
yang sangat fanatic dengan idiologi BERHALAISME, menyebabkan ia harus menutup
rapat-rapat eksistensi dirinya sebagai muslim.
Aktifitas dakwah dan
intensitasnya mendatangi pusat gerakan rahasia yaitu di DAARUL ARQAM, rupanya
diketahui oleh Badan Intelejen Negara HIjaz. Hingga setelah data awal indikasi
keterlibatan Mush’aib dalam gerakan Risalah dipandang cukup, maka intelejen
tersebut akhirnya membocorkan eksistensi Mush’aib kepada ibunya sendiri.
Disidanglah Mush’aib di hadapan keluarga besarnya, termasuk ibunya.
Kesempitan ini dimanfaatkan dan disulap menjadi kesempatan dakwah bagi
Mush’aib. Mush’aib dengan penuh hikmah mengurai intisari keyakinannya yang di
sertai argument wahyu yang tak terbantahkan.
Demi mendengar dakwah Mush’aib yang jelas, Ibunya semakin marah. Keyakinan idiologi berhalaisme ibunya, mendorong dia untuk menghantarkan pukulan dan tamparan keras kemuka Mush’aib. Tetapi ketika tamparan itu hendak mendarat dimuka Mush’aib, ditarik kembali tangannya, diurungkan niat untuk memukulnya. Mungkin rasa sayang ibunya, juga wibawa mush’aib yang memancar bak mentari dhuha, yang menyebabkan ia harus menarik kembali niatnya dan mengendalikan emosinya.
Demi mendengar dakwah Mush’aib yang jelas, Ibunya semakin marah. Keyakinan idiologi berhalaisme ibunya, mendorong dia untuk menghantarkan pukulan dan tamparan keras kemuka Mush’aib. Tetapi ketika tamparan itu hendak mendarat dimuka Mush’aib, ditarik kembali tangannya, diurungkan niat untuk memukulnya. Mungkin rasa sayang ibunya, juga wibawa mush’aib yang memancar bak mentari dhuha, yang menyebabkan ia harus menarik kembali niatnya dan mengendalikan emosinya.
Tetapi rasa belanya
terhadap idiologi berhalaisme ibunya, akhirnya sangsi berat untuk Mush’aib di
berikan pula. Mualilah Mush’aib di boikot oleh ibunya, kemewahan yang selama
ini digelontorkan kepada Mush’aib mulai ditarik, aktifitasnya juga dibatasi
dengan sangat ketat. Tetapi Mush’aib bukannya berhenti berdakwah. Baginya,
Dakwah adalah kehormatan dan jalan menuju kemuliaan, harga dirinya ada dijalan
Dakwah Fi Sabilillah. Dia melawan terhadap tekanan ibunya.
Suatu Revolusi diri yang berbalik arah 180 derajat. Anak manja yang
sangat sayang dan disayang ibunya, kini harus berhadap-hadapan dengan ibunya
dengan penuh permusuhan. Pemuda yang terbiasa dengan gemerlap kemewahan
pemberian orang tuanya, kini harus hidup dengan sangat bersahaja, bahkan
mungkin serba kekurangan karena diboikot total logistic oleh Ibunya. Kaum
wanita yang dulu mengidolakan dan mengidam idamkan nya kini berbalik pada
membenci dan menjauhinya. Para pemuda yang dulu selalu menunggu kehadirannya
kini malah menutup pintu rapat-rapat akan kehadirannya. Bahkan kini PEMUDA:
Mush’aib terpenjara dirumah ibunya dengan pintu yang terkunci rapat.
Terhadap hal ini
Rasulullah SAW berkata:
”Dahulu
saya melihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan
dari orang tuanya, kemudidan ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada
Allah dan Rosulnya”.
Cintanya kepada Allah
dan Rasul-Nya yang membuat pemuda Mush’aib berani meninggalkan segala
kesenangan duniawi menuju keridhaan Allah.
Suatu revolusi diri
setelah Syahadat dikumandangkan. Dengan syahadat yang dikumandangkan,
tershibghahlah diri Mush’aib dengan shibghah (celupan) Allah. Cinta mati kepada
ibunya, kini berubah menjadi cinta yang totalitas kepada Allah dan Rasulnya.
Syahadat yang sanggup memutuskan tali ikatan kekerabatan, keduniaan,
kesenangan, dan popularitas, jika harus mempertahankan tali ikatan keislaman.
[2:138] shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghah
(celupan) nya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (AL
BAQARAH (Sapi betina) ayat 138)
[2:207]
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
Saudara-saudaranya
sesama muslim diluar rumah “kurungan” Muhs’aib merencanakan strategi pelarian.
Setelah lama rencana disusun, akhirnya Mush’aib berhasil mengelabui ibunya dan
para penjaga-penjaganya. Hingga Mush’aib dipilih menjadi salah satu utusan ke
Etiopia (habsyi) untuk melaksanakan program dakwah diluar Negara Hijaz.
Kepulangan dari Habsyi
(Etiopia), Mush’aib disambut Ibunya dengan kemarahan luar biasa. Hingga hendak
mengurungnya lagi. Namun kini Mush’aib semakin mantap, malah menantang ibunya.
Hingga ibunya mengancam akan menyuruh orang-orang suruhannya untuk membunuh
anaknya sendiri.
Mush’aib kini bukanlah
Mush’aib dahulu, Mush’aib kini adalah Mush’aib yang sudah tercelup dengan
celupan Allah (Shibghatullah). Ancaman bunuh dari ibunya sendiri tidak
sedikitpun membuat dirinya gentar. Ibunya yang melihat anaknya kini yang sudah
berubah 180 derajat, kini putus asa meluluhkan anak kesayangannya sendiri.
Akhirnya ia lepas anaknya dengan cucuran air mata kesedihan.
Mush’aib pun berlinang
air mata. Ucapan perpisahan penuh haru yang diucapkan Mush’aib menguap kelangit
tanpa berbalas satu katapun dari ibunya. SUBHANALLAH